Padi dan Pondok Ladang di Tepian Hutan |
Sistem perladangan yang dilakukan Suku Dayak khususnya Dayak Kanayatn tepatnya di Kalimantan Barat menganut cara lahan bergilir bukan berpindah atau perambahan hutan. Sistem perladangan yang di anut adalah lebih ramah dinamakan sistem pertanian asli terpadu (integrated indigenous farming system), sistem ini merupakan cara pertanian yang tergolong tradisional namun memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian alam.
Lain halnya dengan sistem perladangan berpindah (swidden agriculture) dengan sistem perambahan hutan (forest pioneer farming system) yang sebenarnya sistem ini yang tidak memperhatikan kelestarian hutan dan alam.
Dengan
jumlah penduduk yang terus bertambah dan ruang kegiatan ekonomi
(kawasan hutan) yang semakin sempit, maka praktek perladangan perlu
untuk mengadaptasi diri. Sistem rotasi perladangan dengan bero yang
dulunya antara 8-15 tahun, sekarang dalam prakteknya sudah sulit
diterapkan karena semakin sempitnya kawasan hutan yang tersisa akibat
konversi untuk kegiatan lain seperti perkebunan kelapa sawit dan
aktivitas perambahan berskala besar ulah cukong nakal tapi bersurat ijin
dari negara.
Berladang
bukan sekedar menanam padi dan palawija saja, melainkan ada unsur
ritual yang sakral di dalamnya. Orang Dayak asli dan beradat-istiadat,
mengenal sistem berladang 1 tahun satu kali yang biasa disebut "bahuma batahutn". Dalam memulai proses perladangan, Suku Dayak Kanayatn/ahe menyelenggarakan
beberapa tahapan acara adat-istiadat. Dalam melakukan perladangan orang
Dayak tidak melakukannya sendiri, melainkan membentuk kelompok-kelompok
tani yang disebut aleatn uma. Setiap kampung yang jumlah penduduknya besar, bisa terdiri dari 5 sampai 10 ale'atn uma.
Pertama, Upacara Nabo' Panyugu Nagari.
Dalam
memulai serangkaian proses perladangan dan membuka lahan pertanian
pertama-tama seluruh penduduk meminta ijin berdoa di Panyugu (tempat
ibadat) ketemenggungan. Dengan melakukan pantang selama 3 (tiga) hari
tidak makan daging, pakis, rebung (young bamboo),
cendawan, dan keladi. Selain itu mereka tidak boleh mengenluarkan
kata-kata umpatan atau kotor yang dapat menyebabkan gagal berpantang
tersebut.
Kedua, Upacara Nabo’ Panyugu Tahutn
Upacara
yang dilaksanakan untuk menetapkan tempat/lokasi pertanian dengan
sembahyang di Panyugu untuk memohon berkah dan keselamatan. Masyarakat
Dayak Kanayatn parcaya bahwa keberhasilan ritual dapat menentukan
keberhasilan panen tahun itu.
Ketiga, Upacara NgawahUpacara ngawah ini bertujuan mencari tempat yang cocok untuk bercocok tanam padi. Biasanya dilakukan pada malam hari dengan mengenali gejala-gejala alam seperti bunyi burung dan binatang sebagai petunjuk dalam menentukan lahan pertanian. Jika bunyi burung di atas bukit, berarti ladang di dataran tinggi akan berhasil. Namun, bila bunyi berasal dari lembah maka itu pertanda pertanian dalam kondisi dan hasil yang suram. Bila ditemukan bangkai binatang pertanda lahan yang ditentukan itu baik untuk ditanami.
Upacara nangaratn rasi/mendengarkan rasi merupakan upacara yang dilakukan di alam bebas langsung dengan mendengarkan tanda-tanda dari alam yang menyatakan baik atau pertanian. Bila pesan rasi baik menyatakan pekerjaan diteruskan dan hasil pertanian baik pula. Salah satu contoh, menurut tuturan orang tua secara lisan daerah Belitang Hilir, Kabupaten Sekadau, salah satu rasi yang dijadikan pertanda dengan melihat "rasi bintang waluku" seperti kapak/parang tepat di atas kepala pada malam hari pertanda siap memulai penebangan lahan.
Kelima, Kegiatan Ngaratas
Ngaratas adalah kegiatan membuat lajur batas atas lahan pertanian dengan lahan tetangga. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman dan agar tidak terjadi pengambilan batas tanah ladang yang lainnya. Setelah itu barulah bahuma (menebas) hutan atau semak sampai selasai dan lapang.
Keenam, NabakngNabakng adalah kegiatan menebang pohon. Setelah itu, upacara adat baremah biasanya dilakukan dengan membuat persembahan untuk Jubata, sebagai ijin kepada Yang Kuasa agar diperbolehkan menggarap lahan sebagai lahan pertanian. Bila ada pohon besar, maka pohon tersebut tidak ditebang, melainkan hanya dikurangi cabang-cabangnya. Orang Dayak Kanayatn percaya bahwa pohon besar biasanya dihinggapi burung tingkakok/burung peliharaan Jubata/burung berkat padi yang menjaga dan menimbang buah padi, sehingga pada waktu panen nanti akan mendapat padi yang baik (berisi) dan melimpah.
Ketujuh, Ngarangke Raba’
Ngarangke Raba’ adalah upacara mengeringkan tebasan dan tebangan dalam beberapa waktu untuk kemudian dibakar. Sebelum dibakar dilakukan ngaraki’ yaitu membersihkan daerah sekeliling yang akan dibakar untuk pencegahan merambatnya api secara luas prosesnya dalam istilah konservasi moderen dikenal dengan fire break. Pembakaran ladang biasanya dilakukan dengan melihat bahwa segala pohon, daun dan ranting tebangan sudah kering dan dibakar saat tengah hari saat cuaca panas, hal ini bertujuan agar materi yang terbakar segera menjadi debu dan tidak menimbulkan asap yang banyak dan terlalu lama.
Kedelapan, Membuat Solor atau Jalujur.
Dilakukan dengan pembuatan tanda batas antara ladang milik sendiri dengan ladang orang lain yang berdekatan, agar tanah yang digarap tidak mengenai tanah garapan tetangga.
Kesembilan, Batanam Padi
Batanam padi ini terdiri dari: (a) Upacara Ngalabuhatn, yakni upacara memulai tanam padi; (b) Upacara Ngamalo Lubakng Tugal. Upacara ini dilakukan di sawah atau ladang secara intensif agar padi yang ditanam dapat tumbuh dengan baik, berhasil dan tidak diganggu hama; (c) Upacara Ngiliratn penyakit padi dengan menghanyutkan sisa hama dari padi akibat hama dan gigitan binatang agar tanaman terhindar dari hama dan membuang sial yang membuat tanaman padi tidak berhasil.
Kesepuluh, Upacara Ngabati
Upacara ini dilaksanakan di tengah ladang pada saat hendak panen padi atau saat padi menguning. Upacara ini merupakan permohonan agar padi yang telah menguning tersebut tidak diganggu hama tikus dan agar semua padi berisi, sehingga bila panen tiba hasilnya banyak.
Kesebelas, Upacara Naik Dango
Upacara Naik Dango ini bukan hanya sekedar syukur atas panen saja tetapi disertai membawa, mendoakan (nyangahatn), dan memasukan padi dalam wadah penyimpanan yang dinamakan baluh/langko/dango.
Setiap daerah berbeda-beda nama dalam ucapan syukur hasil panen yang diperoleh selama panen padi. Ada yang menyebutnya baroah, naik dango, nutup tahutn, nyapat tahutn, nosuminu podi, begawai, dan lain-lain. Dayak Kanayatn Kabupaten Landak dan Pontianak merayakan acara baroah setelah selesai panen yaitu setiap keluarga membuat kue khas seperti roti namanya tumpi', memasak beras pulut/baras poe' dalam bambu dengan cara dibakar yang dalam bahasa Inggrisnya sticky rice dan memakan padi baru yang wangi dan enak rasanya. Upacara baroah ini biasanya tidak dipaksakan dilakukan bagi setiap keluarga. Ada yang membuat ini sederhana tergantung besar kecil hasil panen tahutn atau tahunannya. Acara selesai panen ini bisa bersamaan atau berlainan waktu untuk setiap kampungnya.
Selain acara usai panen di setiap desa/kampung, sesuai kesepakatan para penggiat seni-budaya, Tetua Adat dan Sesepuh Dayak dibuat pula event besar Naik Dango menjadi budaya leluhur dan turun temurun serta menarik pengunjung/turis, pameran kancah seni dan budaya.
Naik Dango merupakan acara besar setelah acara-acara baroah yang sudah dilakukan masing-masing kampung orang Dayak. Upacara naik dango ini merupakan acara kebersamaan dan inti yang sering dilaksanakan pada Rumah Betang/longhouse. Upacara ini merupakan upacara syukuran atas panen padi yang dilaksanakan setahun sekali yaitu pada tanggal 27 April yang tempat pelaksanaannya secara bergiliran di masing-masing wilayah yang masih ada kesamaan adat dan budayanya. Pelaksanaannya dilakukan secara bergiliran setiap kecamatan di Kabupaten Landak.
https://anshabe.blogspot.co.id/2017/02/sistem-perladangan-suku-dayak-kanayatn-dan-syukuran-panen.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar